PEMUDA REVOLUSIONER PENGGAGAS PERADABAN BANGSA

b_vox5yuiaajht_-2

                                                     sumber : tanmalaka.id
 “Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda.”-Tan Malaka. Suatu kalimat pembuka sekaligus kata-kata bijak yang dikumandangkan oleh salah seorang penggagas peradaban bangsa Indonesia ini sudah cukup menggambarkan apa itu pemuda dan kenapa disebut pemuda. Banyak referensi untuk menggambarkan pemuda itu seperti apa. Walaupun jika dilihat langsung dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) maka pemuda adalah orang muda laki-laki; remaja; teruna. Kembali ke pernyataan Tan Malaka bahwa idealisme tidak bisa dipisahkan dari pemuda karena idealisme sendiri adalah suatu mutiara yang amat naluriah dimiliki oleh pemuda. Idealisme menurut KBBI adalah aliran ilmu filsafat yang menganggap pikiran atau cita-cita sebagai satu-satunya hal yang benar yang dapat dicamkan dan dipahami.
 Pemuda memilih sistem yang ideal (idealisme) maka menurut pemuda tersebut harus adanya suatu perubahan kearah yang menurut dia positif hingga terjadi suatu kondisi ideal. Perubahan sendiri memiliki kesamaan arti dengan revolusi. Jika seperti itu orang yang melakukan perubahan disebut revolusioner dan itulah pemuda sejatinya. Arti kata revolusi dalam KBBI adalah perubahan ketatanegaraan (pemerintahan atau keadaan sosial) yang dilakukan dengan kekerasan (seperti dengan perlawanan bersenjata). Apa yang menurut pemuda itu harus direvolusi belum tentu baik bagi pemuda lainnya sehingga timbul masing-masing ego dari beda pemikiran ini (chaos). Saat ini, suatu kerusakan di suatu negara banyak terjadi akibat dari perbedaan merevolusi sistem oleh para pemudanya.
Sebelum merevolusi suatu kondisi maka pemuda harus mampu menggagas untuk output yang jelas dan nyata hingga nantinya akan memberikan dampak yang berbeda dari suatu kondisi sebelum pemuda itu menggagas. Arti kata gagas sendiri adalah memikirkan sesuatu sedangkan arti dari penggagas adalah  pemikir atau pencetus gagasan. 
Terdapat dua hal pokok yang harus dimiliki manusia untuk menggagas suatu perubahan yaitu evaluasi dan solusi yang nantinya akan dititikberatkan dalam esai ini. Sebelum menitikberatkan kedua hal tersebut maka dua kata terakhir dalam tema juga harus dipahami yaitu “peradaban bangsa”. Jika kita berbicara peradaban bangsa, kita bukan lagi bicara tentang, desa, kota, bahkan provinsi. Seminimal mungkin batasan dari suatu kata bangsa adalah suatu negara. 
Karena menurut KBBI salah satu arti dari bangsa adalah  kelompok masyarakat yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa, dan sejarahnya, serta berpemerintahan sendiri. Jika kita menitikberatkkan pada dua kata terakhir yaitu berpemerintahan sendiri maka bangsa yang dimaksud adalah negara yang memiliki suatu sistem yang menurut penggagas sistem tersebut sudah ideal. Sedangkan, peradaban dalam KBBI memiliki dua arti, yang pertama yaitu kemajuan (kecerdasan, kebudayaan) lahir batin dan arti yang kedua yaitu hal yang menyangkut sopan santun, budi bahasa, dan kebudayaan suatu bangsa. Sehingga dapat disimpulkan bahwa peradaban bangsa adalah kemajuan kecerdasan maupun kebudayan (nilai sosial) yang dimiliki oleh suatu pemerintahan yang dalam hal ini adalah negara.
Evaluasi sama artinya dengan penilaian. Jika ingin menilai kita harus tahu segala hal terkait penggambaran objek yang akan kita nilai. Hal yang paling umum dalam melakukan penggambaran suatu keadaan adalah dengan metode 5W 1H (what, where, why, when, who, how). Penilaian sendiri berasal dari kata dasar nilai. Jika dihubungkan dalam suatu peradaban bangsa maka nilai yang dimaksud adalah nilai sosial. Nilai sosial dalam sosiologi bersifat abstrak karena nilai tidak dapat dikenali dengan panca indra. Nilai hanya dapat ditangkap melalui benda atau tingkah laku yang mengandung nilai itu sendiri. Nilai (value) mengacu pada pertimbangan terhadap suatu tindakan, benda, cara untuk mengambil keputusan apakah sesuatu yang bernilai itu benar (mempunyai nilai kebenaran), indah (nilai keindahan/estetik), dan religius (nilai ketuhanan).
Adapun menurut pakar sosiologi dunia, Walter G. Everent, nilai sosial dibagi menjadi lima bagian. Yang pertama adalah nilai-nilai ekonomi (economic values) yaitu nilai-nilai yang berhubungan dengan sistem ekonomi. Hal ini berarti nilai-nilai tersebut mengikuti harga pasar. Yang kedua adalah nilai-nilai rekreasi (recreation values) yaitu nilai-nilai permainan pada waktu senggang, sehingga memberikan sumbangan untuk menyejahterakan kehidupan maupun memberikan kesegaran jasmani dan rohani. Yang ketiga adalah nilai-nilai perserikatan (association values) yaitu nilai-nilai yang meliputi berbagai bentuk perserikatan manusia dan persahabatan kehidupan keluarga, sampai dengan tingkat internasional.Yang keempat adalah nilai-nilai kejasmanian (body values) yaitu nilai-nilai yang berhubungan dengan kondisi jasmani seseorang. Dan yang terakhir adalah nilai-nilai watak (character values) nilai yang meliputi semua tantangan, kesalahan pribadi dan sosial termasuk keadilan, kesediaan menolong, kesukaan pada kebenaran, dan kesediaan mengontrol diri. 
Maka sudah seharusnya kelima nilai sosial tersebut itu nantinya menjadi dasaran untuk mengevaluasi suatu kebijakan, dimana dalam suatu peradaban bangsa maka kebijakan yang dimaksud adalah kebijakan pemerintahan tersebut. Menurut, Howlet dan Ramesh (1995) dalam William Dunn, ada tiga macam Evaluasi Kebijakan. Yang pertama yaitu,  evaluasi administratif yang berkenaan dengan evaluasi sisi administratif – anggaran, efisiensi, biaya – dari proses kebijakan di dalam pemerintah, yaituEffort evaluation, yang menilai dari sisi input program yang dikembangkan oleh kebijakan,  Performance evaluation, yang menilai keluaran (output) dari program yang dikembangkan oleh kebijakan,  Adequacy of performance evaluation atau effectiveness evaluation, yang menilai apakah program dijalankan sebagaimana yang sudah ditetapkan,  Efficiency Evaluation, yang menilai biaya program dan memberikan penilaian tentang keefektifan biaya tersebut, dan terakhir  Process Evaluation, yang menilai metode yang dipergunakan oleh organisasi untuk melaksanakan program.
 
Evaluasi yang kedua adalah evaluasi judisial, yaitu evaluasi yang berkenaan dengan isu keabsahan hukum tempat kebijakan diimplementasikan, termasuk kemungkinan pelanggaran terhadap konstitusi, sistem hukum, etika, aturan administrasi negara, hingga hak asasi manusia. Dan evaluasi yang terakhir adalah  evaluasi politikyaitu menilai sejauh mana penerimaan konstitusi politik terhadap kebijakan publik yang diimplementasikan.
Solusiyang dalam KBBI adalah penyelesaian; pemecahan (masalah dan sebagainya); jalan keluar. Ketika di paragraf kedua sudah dijelaskan teori berbagai hal mengenai nilai-nilai apa yang harus dievaluasi dan apa saja hal-hal yang menjadi bahasan pokok evaluasi, maka langkah selanjutnya adalah dengan memberi solusiagar apa yang sudah dievaluasi tidak kembali terulang sehingga terjadi sebuah revolusi gagasan. Tetapi tidak semua evaluasi memiliki solusi dan nantinya kita hanya menyianyiakan waktu untuk mencari solusi dari evaluasi yang tanpa solusi. Seperti kata Ajahn Brahmavamso Mahathera yang dikenal dengan nama panggilan Ajahn Brahm seorang Bhiksu Budha Theravāda (mahzab tertua agama Buddha yang masih bertahan) bahwa  “Berapa banyak waktu dalam hidup yang kita sia-siakan karena mengkhawatirkan sesuatu yang, pada saat itu, tak memiliki solusi, dan karena itu, bukanlah sebuah masalah?”. Oleh karena itu, hal pokok dan yang utama sekaligus awalan dalam pemberian solusi adalah kita harus tahu apakah evaluasi tersebut ada solusinya. 
Langkah selanjutnya adalah dengan inovasi, inovasi muncul dalam kondisi berbagai macam entah ketika disengajakan brainstorming dengan kawan dalam rapat atau ketika sedang melamun sendirian menikmati bintang di malam hari. Banyak hal terkait kemunculan inovasi, tapi untuk melatih diri kita inovatif adalah dengan mencari sebanyak-banyaknya referensi seperti dari buku biografi tokoh yang berpengaruh dunia, buku ideologis, radio, televisi, koran, maupun dari dunia maya (internet). Dan langkah ketiga yang katanya membedakan pemuda di negara Indonesia dengan pemuda di negara China adalah besarnya implementasi / aplikasi dari solusi tersebut. Ketika pewacanaan sudah baik, ketika sumber daya pemudanya sudah mumpuni untuk melakukan suatu revolusi, ketika gagasan sudah perfect, lalu apakah akan terjadi jika totalitas dan loyalitas pengaplikasian terhadap solusi itu hanya 50%? Atau bahkan hanya 24%?. Dan langkah terakhir seperti di paragraf awal, kalimat awal, dan kata awal yaitu “idealisme”, sanggupkah para pemuda mempertahankan itu, sanggupkah para pemuda menjaga kemewahan terakhir itu. Jika sanggup maka revolusi gagasan terhadap peradaban bangsa akan amat pasti terjadi. (hnp)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *