Mengingkari Sumpahku

studentrevolt

Tak terbayangkan bagaimana perasaan pemuda 88 tahun lalu melihat keadaaan pemuda saat ini. Pemuda yang mencetuskan kalimat sakral yang saat ini kita sebut Sumpah Pemuda. Sumpah yang diikrarkan oleh para pemuda pada Kongres Pemuda II yang menyeruhkan bahwa pemuda Indonesia berjanji untuk bertumpah darah satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu yaitu Indonesia. Dimana kalimat itu bisa dilihat begitu menyiratkan semangat pemuda saat itu untuk memperjuangkan kesatuan bangsanya. Namun seiring berjalannya waktu,  apakah kita sebagai pemuda Indonesia masih mengamalkan sumpah pemuda ?

88 tahun bukanlah waktu yang singkat bagi kita untuk merefleksikan apakah kata “Sumpah Pemuda” telah mengakar pada tiap generasi di negeri ini. Tahun demi tahun kita mengingat momen tersebut. Sebuah momen yang mensimboliskan perjuangan dan semangat pemuda Indonesia. Timeline media sosialpun tak kalah ramai dengan euforia sumpah pemuda. Namun apakah kita masih menjaga sumpah itu, ataukah yang kita lakukan saat ini hanya sekedar seremonial belaka ?

Manifestasi persatuan pemuda Indonesia

Sumpah pemuda erat kaitannya dengan Boedi Utomo, sebuah organisasi pergerakan Indonesia pada tahun 1908. Konsep manifesto politik yang digagas oleh Perhimpunan Indonesia (PI) di Belanda pada tahun 1925, yang berisi tiga prinsip yaitu persatuan (unity), kesetaraan (equality),  dan  kebebasan (freedom) juga berkaitan erat terhadap munculnya gagasan sumpah pemuda. Dimana dari manifesto politik tersebut, sumpah pemuda menekankan akan persatuan bangsa.

Keberhasilan para pemuda 1928 hingga mampu melahirkan sumpah pemuda, tidak lepas dari pengaruh tokoh-tokoh intelektual pemuda. Sehingga kata pemuda disini tak dapat dipisahkan dari sosok seorang mahasiswa. Hal ini juga menandakan betapa pentingnya pergerakan pemuda khusunya mahasiswa untuk bangsa Indonesia.

Pergerakan mahasiswa saat ini

Pergerakan pemuda indonesia 88 tahun lalu bisa dibilang beradab dalam berbangsa dan bernegara. Pergerakan yang berlandaskan tujuan untuk mencapai kemerdekaan, perjuangan yang dibungkus oleh semangat kepentingan bangsa atas dasar latarbelakang nasib yang sama.

“Beri aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda niscaya akan kuguncang dunia”

Soekarno sadar betapa besar potensi kekuatan para pemuda saat mau bersatu dan berjuang. Namun kata-kata itu terasa semakin terdengar klise di kalangan mahasiswa. Pergerakan mahasiswa saat ini terasa semakin lesu.

Mahasiswa kini semakin sibuk dengan berbagai urusan pribadinya, kelompoknya, ormawanya, oleh urusan yang jauh dari peran dan fungsinya. Tak terbayangkan bagaimana kini event-event hiburan lebih diminati dibandingkan seminar dan kajian, kompetisi olahraga lebih semarak daripada diskusi terbuka. Tidak sedikit juga mahasiswa yang bekerja keras menempuh perkuliahan namun hanya untuk mengabdi pada dirinya sendiri.

Pendidikan Tinggi kini hanya dipandang sebagai lembaga kursus yang dianggap “impas” dengan jutaan UKT yang dibayarkan. Bukankah guna memenuhi amanat “mencerdaskan kehidupan bangsa” tidaklah cukup sekedar bekerja, sekedar berkarya, sekedar menjadi kaya?. Mahasiswa tidak hanya dituntut untuk belajar bagi dirinya, namun juga untuk menjalankan peran fungsinya.

Tak terpikirkan bagaimana jadinya negeri ini dulu saat masih dalam masa penjajahan jika para pemudanya, para mahasiswanya hanya sibuk mengurus hobinya, hanya puas memenuhi isi perutnya. Mungkin kemerdekaan akan menjadi cerita di buku dongeng belaka. Mungkin bangsa kita masih menjadi bagian dari negara belanda yang selalu diberi label “bangsa tempe”, bangsa yang lemah yang rela menderita demi pembelian cita-cita.

Menjadi mahasiswa bukan hanya sekedar pilihan hidup, menjadi mahasiswa berarti membawa amanah bangsa. Tidaklah pantas bagi seorang mahasiswa untuk sekedar lulus dan mapan dengan kehidupannya. Karena kita masih membawa amanah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Jadi, sudah bisakah kita disebut pemuda? Mahasiswa?, yang katanya mampu mengguncang dunia, ah.. mencabut semeru dari akarnya saja kita belum bisa.

Yulian Dwi Satria Wibisana

Mahasiswa Teknik Mesin 2014

Imam Muhsin Natsir

Mahasiswa Teknik Mesin 2014

Dimensi 2016/2017

dimensi.mesin.its@gmail.com

dimensi.me.its.ac.id

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *