REVISI UU MIGAS UNTUK KEDAULATAN ENERGI REPUBLIK INDONESIA

             opini

             Indonesia sudah merdeka 71 Tahun, idealnya saat ini sudah mampu mandiri dalam banyak hal khususnya dalam persoalan kemakmuran rakyat. Namun, pada kenyataannya belum semua rakyat Indonesia merasakan apa yang disebut kemakmuran. Tujuan Indonesia untuk memajukan kesejahteraan umum yang tertuang dalam alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945 belum tercapai. Kesejahteraan belum dimiliki oleh bangsa Indonesia secara umum. Kesejahteraan masih dimiliki golongan-golongan tertentu saja. Hal ini terlihat pada perbedaan harga BBM di pulau Jawa dengan di Papua sangatlah jauh. Selain itu, kekayaan sumber daya alam Indonesia banyak digerogoti oleh pihak-pihak swasta/asing. Indonesia saat ini dengan alamnya yang kaya dan subur, tidak seharusnya ada kemiskinan. Indonesia merdeka harus bertolak belakang dengan kenyataan di jaman kolonial, rakyat Indonesia miskin ditengah kekayaan yang melimpah. Seperti peribahasa “anak ayam mati di lumbung padi”.

              Dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat 2 menerangkan bahwa “Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai Negara” dan ayat 3 menerangkan bahwa “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Pasal tersebut didukung dengan UU No. 8 Tahun 1971 tentang Pertamina dan kaitannya erat dengan tata kelola migas Indonesia. Namun UU tersebut diganti dengan UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang mana dalam praktiknya memiliki banyak kelemahan. Kelemahan yang dimaksud adalah menghilangkan semangat kedaulatan energi yang terkandung dalam UUD 1945 pasal 33 diatas. Oleh karena itu, diusahakan untuk merevisi UU No. 22 Tahun 2001 yang sudah ‘mangkrak’ selama 6 tahun, terhitung sejak 2008 diusulkannya revisi tersebut tidak pernah sampai pada proses pengesahan oleh Mahkamah Konstitusi.

                Padahal tantangan yang akan dihadapi saat ini adalah produksi migas Indonesia semakin tahun semakin menurun karena keterbatasan teknologi yang dimiliki. Sebagai informasi, dengan teknologi yang ada, saat ini Indonesia ‘baru bisa’ memenuhi 50% kebutuhan nasional, atau dapat dikatakan 50% kebutuhan migas nasional harus dipenuhi dengan impor. Melalui perhitungan diatas kertas, turunnya produksi migas tesebut memberikan dampak bahwa tahun 2025 nanti Indonesia harus mengimpor sampai 80% kebutuhan nasional apabila tidak ada penambahan ketersediaan infrastruktur migas. Sedangkan untuk memenuhi kehandalan dan ketersediaan infrastruktur tersebut diperlukan investasi sebesar 60 Milyar USD atau senilai 789,5 Triliun Rupiah.

                Lantas tantangan tersebut harus dijawab oleh Tata Kelola Migas baru, dalam hal ini Revisi UU Migas. Harapannya, Revisi UU Migas nanti harus mampu menghadirkan semangat kedaulatan energi yang tertuang dalam UUD 1945 Pasal 33, serta ketahanan dan kemandirian energi. Ketahanan energi yang dimaksudkan disini adalah adanya ketersediaan (availability) dengan indikator sumber pasokan, daya beli masyarakat (affordability) yang dikorelasikan dengan pendapatan nasional per kapita, dan adanya akses bagi pengguna energi (accessibility) bagi pengguna energi untuk menggerakkan kehidupan dan roda ekonomi, serta bertahan untuk jangka panjang (sustainability). Sedangkan, kemandirian energi yang dimaksud adalah kemampuan negara dan bangsa untuk memanfaatkan keanekaragaman energi dengan memanfaatkan sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat. Lebih dari itu, konsep pengelolaan sumber daya alam migas harus dirubah dari yang awalnya cenderung menggunakan azas penerimaan (revenue) besar-besaran menjadi azas kebermanfaatan. Beberapa kebijakan yang mendukung ketahanan dan kemandirian energi antara lain dengan adanya penyedian Cadangan Penyangga Energi (CPE) dan cadangan strategis energi, penambahan value produk-produk migas yang dalam teknisnya dapat dibebankan kepada perusahaan-perusahaan dibawah holding BUMN sektor Migas apabila jadi dibentuk, sehingga didapatkan multiplier effect.

                Industri migas Indonesia selama ini juga cenderung melakukan kegiatan eksploitasi daripada eksplorasi. Hal ini merupakan faktor mengapa produksi migas Indonesia menurun. Selain itu, kegiatan eksplorasi tidak tertuang dalam kebijakan negara sehingga menjadi celah ‘bermain’ bagi perusahaan-perusahaan eksplorasi swasta. Terlebih lagi dari sisi pembangunan SDM pribumi juga kurang, dalam artian euforia lulusan perguruan tinggi terlalu fokus pada pengolahan data sumur dan data seismik yang sudah ada. Sangat jelas bahwa lulusan perguruan tinggi ini tidak tertuju pada kegiatan eksplorasi. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan spec surveyor guna mendukung eksplorasi dan meningkatkan ketahanan energi migas. Langkah lain untuk meningkatkan ketahanan energi yaitu dengan adanya strategi pencadangan minyak, diantaranya dengan menaikkan rasio penggantian cadangan (reserve replacement ratio) yang tidak hanya difokuskan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi saja. Disamping itu guna melakukan penghematan migas dapat diberlakukan optimalisasi pemanfaatan energi-energi lain khususnya green energy seperti energi matahari, panas bumi, dan energi hidro. Sebagai informasi energi hidro di Indonesia baru dimanfaatkan sekitar 10% sedangkan energi panas bumi baru dimanfaatkan sebesar 4,56% dari ketersediaannya di alam.

                Beralih ke carut-marut tata kelola sumber daya alam, masalah utama tata kelola sumber daya alam ada pada sistem tata kelola dan subjek pengelola sumber daya alam. Masalah sistem tata kelola mencakup masalah pada undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri, BUMN, BHMN, dan natural resources governance. Masalah subjek pengelola sumber daya alam antara lain oknum-oknum di BUMN dan BHMN serta oknum-oknum di kantor-kantor pemerintahan. Di Indonesia baik sistem tata kelola maupun subjek pengelola sama-sama bermasalah. Sebagai contoh kasus Pertamina merupakan BUMN pelaku usaha dimana menjual hasil produksinya ke masyarakat dan berkewajiban melakukan distribusi bagaimanapun kondisinya, disisi lain ada perusahaan swasta dengan bidang usaha yang sama namun saat terjadi kelangkaan bahan bakar, perusahaan swasta tersebut tidak melakukan distribusi karena tidak diatur oleh undang-undang/peraturan untuk melakukan distribusi, sehingga otomatis perusahaan swasta akan lebih diuntungkan karena tidak menanggung cost distribusi.

                Industri migas di Indonesia juga tidak terlepas dari politik perekonomian yang artinya kebijakan yang mengatur migas berdampak pada kebijakan perekonomian. Gagasan politik perekonomian Indonesia sudah tercetus oleh founding father negara kita ini, Bapak Mohammad Hatta. Beliau menjelaskan gagasannya dimulai dari penjelasan perekonomian jaman kolonial dimana yang kaya adalah bangsa asing yang menjajah, yang mempunyai kapital dan pengetahuan teknik. Semakin kuat tancapan kuku kolonial, semakin terdesak pula ekonomi Indonesia. Oleh karena itu, lahirlah cita-cita beliau untuk Indonesia yang adil dan makmur, bebas dari segala ketertindasan dan kesengsaraan hidup, yang artinya kekuatan asing harus dilikuidasi. Gagasan politik perekonomian Indonesia menurut bung Hatta adalah perekonomian dikerjakan secara kekeluargaan, gotong-royong yang menciptakan masyarakat kolektif, berakar pada adat-istiadat hidup Indonesia yang asli, tetapi harus dikembangkan sesuai tuntutan jaman. Dalam hal ini koperasi membangun perekonomian dari bawah ke atas, sedangkan pemerintah membangun dari atas ke bawah. Untuk perusahaan partikelir (swasta) berada ditengah dan disesuaikan dengan rencana ekonomi pemerintah. Konsep tersebut sangat sesuai dengan pasal 33 UUD 1945, dimana negara mengerjakan  bukan hanya usaha yang mendatangkan kegunaan publik namun juga cabang-cabang produksi yang ‘menguasi hajat hidup banyak orang’.

Pada kenyataannya sejak tahun 50-an, salah satu contoh cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, dan kekayaan alam yang seharusnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia yang berada di Duri, Riau sampai saat ini masih dikuasai oleh pihak swasta. Teknologi-teknologi yang ada disana sangatlah maju dan tidak banyak dari SDM pribumi yang menguasai/mewarisi ilmu dari pihak swasta tersebut. Hal ini tidak berbeda jauh dengan penjelasan perekonomian jaman kolonial oleh Bung Hatta diatas. Oleh karena itu, diperlukan azas kebermanfaatan yang harapannya tertuang dalam revisi UU Migas. Dengan azas kebermanfaatan tersebut, ilmu-ilmu teknologi perusahaan atau SDM asing dapat diturunkan dan dikuasai oleh SDM pribumi, sehingga dapat turut serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Ilmu-ilmu teknologi bolehlah ‘impor’ tetapi tidak untuk sistem tata kelolanya.

Narasumber:

  1. Rijanto – Corporate Secretary PT. Pertamina
  2. Marwan Batubara, M.Sc – Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies
  3. Ir. Andang Bachtiar, M.Sc – Dewan Energi Nasional, Ketua Komite Eksplorasi Nasional
  4. Ir. Mukhtasor, M.Eng., Ph.D – Guru Besar Teknik Kelautan ITS

Penulis :

Baskoro Ardy Kusuma

2114100036

Teknik Mesin S1 2014

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *