Sharing Cerita Kuliah : Kreatif dan Inovatif

Dalam salah satu pertemuan kelas “Wawasan Teknologi & Komunikasi Ilmiah”, kami membahas materi tentang “Kreatifitas dan Inovasi”.

Pembahasan dimulai dengan apa perbedaan antara kreatif dan inovatif, mengingat banyak orang sering menggandengkan pemakaian keduanya. Misal dalam sebuah pameran disampaikan bahwa barang-barang pameran merupakan produk kreatif dan inovasi anak bangsa. Atau dalam sambutan seorang pejabat menyebutkan bahwa lembaganya menaruh perhatian tinggi pada kreatifitas dan inovasi untuk negeri.

Hampir sebagian besar mahasiswa di kelas sulit memberikan definisi dan penjelasan yang tepat mengenai apa itu kreatif dan apa bedanya dengan inovasi. Hal yang sama saya jumpai pula dalam banyak tulisan hasil googling, bahkan di buku-buku yang membahas kreatif dan inovasi pun juga sering keliru memberikan penjelasan.

Sebagai analogi, saya tulis dengan besar di papan tulis, bahwa analogi dari kreatif dan inovasi itu adalah: KREATIF = BUNGA, sedangkan INOVASI = BUAH. Contoh yang dipakai dalam analogi ini adalah Jambu Air. Kemudian diikuti dengan pertanyaan: Bagi seseorang yang menaman pohon jambu air, yang diinginkan untuk dinikmati manfaatnya itu bunganya atau buahnya? Di pasar yang menjual berbagai macam buah, yang dicari dan mau dibeli oleh pembeli itu BUNGA jambu air atau BUAH jambu air?

Lewat analogi itu, kelas pun mulai bergeliat dan menunjukkan kreatifitasnya…

Dalam sebuah diskusi yang terjadi, beberapa mahasiswa mulai menyepakati bahwa tidak semua produk kreatif itu layak disebut sebagai inovasi, karena untuk disebut sebagai inovasi, maka produk kreatif harus mendatangkan “additional value” atau “manfaat nyata”. Sementara jamak diketahui, ada banyak produk kreatif yang belum memberikan manfaat, hanya sekedar berbeda saja, tapi prototipe nya belum ada, prototipe ada tapi belum diuji, sudah diuji tapi belum ditest ke pasar, dst.

Artinya untuk membuat inovasi itu tidak cukup kreatif saja. Tapi perlu keterlibatan banyak pihak, dan proses yang panjang, yang itu bahkan berarti perubahan culture atau atmosfer di lingkungan tempat inovasi ingin diwujudkan.
Diskusi kemudian berlanjut dengan sebuah pertanyaan. Kalau ternyata inovasi itu adalah culture, maka jika ada sebuah organisasi ingin menjadi inovatif atau bertekad menjadi pusat inovasi, maka siapa yang harus menjadi pemimpin inovasi dalam organisasi tersebut?

Berbagai jawaban diberikan oleh mahasiswa, mulai dari yang diplomatis sampai sebuah jawaban yang to the point. Jika memang inovasi adalah proses panjang yang menghendaki adanya perubahan culture, maka pemimpin inovasi haruslah pemimpin tertinggi di organisasi tersebut. Mendapat jawaban yang to the point begitu, saya pun menjadi semakin terpacu. Kalau begitu, katakanlah Indonesia ini ingin menjadi negara yang inovatif, siapa yang harus memimpin? “Presiden” begitu jawab mahasiswa tersebut. Kalo ITS yang ingin jadi kampus inovatif, siapa yang harus memimpin? “Rektor” jawab mahasiswa yang ternyata berasal dari jurusan Teknik Informatika. Jawaban yang lugas dan muanteb.

Memang begitulah kebijakan dasar yang harus dibuat dalam sebuah organisasi yang bertekad kuat untuk menjadi organisasi penuh inovasi. Dipimpin langsung oleh pemimpin tertingginya, dalam arti kata sebenarnya, bukan kiasan apalagi pencitraan.

Contohnya kota Surabaya. Ketika Bu Risma ingin supaya Surabaya menjadi smart city yang ditunjang dengan inovasi dan teknologi digital, maka beliau langsung yang pimpin tim untuk kembangkan jejaring, beliau yang tetapkan visi dan targetnya, beliau yang koordinasi, turun langsung, tidak cukup lewat perintah dan kata ke bawahan yang ditugasi menjadi penanggung jawab inovasi.

Contoh lain, Kemenristekdikti. Ketika Pak Nasir menetapkan visinya bahwa penggabungan Ristek dan Dikti berarti harus terjadi hilirisasi produk riset ke masyarakat, maka beliau sendiri yang terjun langsung. Dalam setiap kesempatan, di podium ataupun dalam tatap muka, isu hilirisasi dan inovasi selalu disampaikan. Beliau sendiri yang ikuti dan tinjau satu per satu produk riset yang perlu dikawal sehingga nantinya menjadi inovasi. Beliau sendiri yang koordinasikan bagaimana proses hilirisasinya, hambatan ada dimana, solusinya seperti apa, dst. Memang benar ada dirjen penguatan inovasi yang bertugas memetakan dan menguatkan inovasi. Tapi dirijen dan koordinator inovasi tetap Pak Menteri sebagai pemimpin tertinggi.

Sayangnya untuk contoh kasus Kemenristekdikti, mestinya perlu ditopang oleh kementerian lain. Hal klasik yang menjadi problem akut di pemerintahan. Lemah dalam hal koordinasi, apalagi kalau ingin ada integrasi dan sinergi, jauh sekali. Koordinasi aja loh masih lemah kok…

Padahal inovasi harus melibatkan banyak pihak. Mulai dari hal hukum (paten), strategi perdagangan (marketing), pihak industri (untuk produksi), konsumen sebagai user, penanam modal atau investor, dll. Yang semestinya itu semua harus dipimpin langsung oleh Presiden sebagai pimpinan tertinggi inovasi di Indonesia. Itu jika memang target Indonesia ke depan adalah menjadi negara yang inovatif.

Alief Wikarta, ST., M.Sc., Ph.D.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *