Potensi dan Masa Depan Energi Baru dan Terbarukan di Indonesia

Panel Surya

Penggunaan listrik ditemukan hampir di setiap sektor, mulai dari sektor rumah tangga, transportasi, hingga industri. Meninjau dari populasi, pertumbuhan ekonomi, kebijakan terkait EBT, dan data historis konsumsi energi dari berbagai sektor, dapat diprediksi kebutuhan listrik di Indonesia akan meningkat dari tahun ke tahunnya. Hal ini merupakan hal yang lazim, mengingat kebutuhan listrik per kapita di Indonesia pada tahun 2019 masih tergolong rendah-1,084 kWH per kapita-bila dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia Tenggara. Meningkatnya permintaan pasokan listrik tentu akan meningkatkan penawarannya pula. Namun nyatanya, pemenuhan energi listrik di Indonesia masih didominasi oleh Pembangkit Listrik Tenaga Uap dengan energi fosil menyumbang 49,67% dari total kapasitas nasional 70 GW. Setelah PLTU, PLTG menempati posisi kedua, dengan menyumbang 28,90% dari total kapasitas nasional. Menurut data dari Global Electricity Review 2021, Indonesia menduduki posisi keempat dalam penggunaan pembangkit listrik dengan persentase penggunaan batubara sebesar 60% dari total produksi listrik, didahului oleh Afrika Selatan sebesar 86%, India 71%, dan Tiongkok 61%.

Meski energi fosil masih menjadi andalan dalam generasi listrik, pemerintah juga menunjukan usaha peralihan ke energi terbarukan yang ditunjukan dengan target bauran energi primer Indonesia untuk energi baru dan terbarukan sebesar 23% pada tahun 2025 dan 31% pada tahun 2050. Hinga 2020, porsi tersebut baru mencapai 11,20%. Kapasitas terpasang dari pembangkit listrik hingga pertengahan 2020 mencapai 71 GW dengan PLT EBT tercatat menyumbang 14,69% atau 10,4 GW.

Berdasarkan Energy Outlook Indonesia 2019, total potensi EBT ekuivalen dengan 442 GW pembangkit listrik. Penggunaan EBT untuk pembangkit listrik pada tahun 2018 sebesar 8,8 GW atau 14% dari total 64,5 GW kapasitas pembangkit listrik (fossil dan non-fossil). Pemanfaatan EBT sebagian besar berasal dari energi hidro, panas bumi, dan geothermal. Potensial bagi energi hidro mencapai 94,3 GW dan panas bumi sebesar 28,5 GW, dan solar energy sebesar 207,8 GWp.

Untuk mempercepat transisi menuju penggunaan EBT yang optimal, maka diperlukan langkah taktis dari pemerintah serta dukungan dari pihak swasta. Beberapa kebijakan yang mendukung EBT adalah Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan. Pemerintah memberikan dukungan dalam bentuk insentif dan simplifikasi perizinan atau non-perizinan. Untuk menjawab rendahnya minat investasi pada EBT, kebijakan lainnya adalah Peraturan Presiden Tentang Pembelian Tenaga Listrik Energi Terbarukan Oleh PT Perusahaan Listrik Negara. Tiga skema pembayaran yang diatur adalah feed-in-tariff (FiT), harga patokan tertinggi, dan harga kesepakatan. FiT mewajibkan perusahaan utilitas mayor seperti PLN membayar tarif untuk energi terbarukan yang dihasilkan oleh perusahaan minor lainnya dengan harga Biaya Pokok Produksi bahan bakar fosil. FiT hanya diperuntukkan generator kecil dengan kapasitas maksimal 5 MW. Sedangkan, harga patokan tertinggi dibayarkan hanya untuk PLTP. Terakhir, harga kesepakatan ditujukan kepada PLTA, PLTS, dan PLTB.

Dari sektor rumah tangga sendiri, masih dibutuhkan usaha lebih besar untuk membumikan penggunaan EBT untuk menghasilkan listrik. Salah satu yang paling lazim digunakan di sektor rumah tangga adalah solar photovoltaic (PV). PV telah mengalami penurunan drastis beberapa tahun terakhir, membuat PV cukup kompetitif dibandingkan dengan daya listrik PLN. Berdasarkan data yang didapat dari International Energy Agency (IRENA), biaya listrik rata-rata dari solar PV telah menurun sebesar 77% antara 2010 dan 2018. Meski telah mengalami penurunan biaya listrik rata-rata, EBT masih dipandang sebagai sumber energi listrik yang mahal. LCOE (Localized Cost of Energy) merupakan perbandingan antara biaya yang keluar selama penggunaan pembangkit listrik terhadap total listrik yang dihasilkan. Biaya yang keluar selama penggunaan bisa dibagi menjadi biaya alat dan biaya instalasi. Biaya alat menjadi salah satu faktor yang menyebabkan PV menjadi lebih mahal. Semakin besar biaya yang dikeluarkan, semakin besar pula LCOE dari suatu EBT.

Berkebalikan dengan biaya yang besar di awal pemasangan, PV memiliki biaya operasional dan pemeliharaan yang relatif kecil sehingga selain berkontribusi dengan menggunakan energi bersih, menurut survey pasar dari IESR, balik modal dapat dicapai dalam kurun waktu tujuh tahun. Masih dibutuhkan usaha besar untuk mengejar target 23% per 2025, mengingat pada tahun 2020 Indonesia masih mencapai separuhnya. Salah satu yang dapat dimasifkan penggunaannya adalah PV. Semakin banyak pengguna PV di Indonesia, semaking rendah pula biaya pemasangan, sehingga semakin rendah pula LCOE untuk PV. Ditambah dengan keseriusan pemerintah dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap Oleh Konsumen PT Perusahaan Listrik Negara sehingga pengoptimalan penggunaan PV menjadi langkah strategis yang tepat untuk mengejar target bauran energi Indonesia.
-Gracia

Source : Irena. (2021). Renewable Power Generation Costs 2020. www.irena.org
Hadi, D. A., Agus, P., Tampubolon, P., Simamora, P., Kurniawan, D., Marciano, I., Adiatma, J. C., Citraningrum, M., & Diah Puspitarini, H. (2021). Tracking Progress of Energy Transition in Indonesia IETO Indonesia Energy Transition Outlook 2021.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *